Kamis, 28 Oktober 2010

MENCERMATI YANG SETENGAH BENAR


Dunia dan masyarakat di mana kita hidup dan tinggal tidak hanya menyajikan pilihan antara benar dan salah, melainkan lebih sering – antara “yang benar dan yang benar”, dan lebih sering lagi antara “yang salah dan yang salah. Dalam kehidupan manusia yang nyata, ada daerah “abu-abu” yang amat luas. Bukan cuma “hitam atau putih”.
Kalau semisal orang yang konon gajinya  ratusan juta rupiah, masih tega mengorup dan menilep milayaran rupiah, ini – tidak ragu-ragu lagi – bukan “abu-abu”, tetapi “hitam pekat”. Tetapi kalau Siti terpaksa melacurkan diri, karena sawahnya telah habis tergadai, suaminya  mati dikeroyok massa ketika mencoba mencuri ayam, dan tiga anaknya perlu susu dan makan (sementara orang-orang  yang “putih” seperti kita tidak berbuat apa-apa !), dengan pedih saya harus mengatakan bahwa  Siti berada di daerah “abu-abu”. Yang dilakukannya memang salah. Siti bukan orang “putih”. Tetapi apakah ia Cuma “hitam” semata-mata ?
Daerah “abu-abu” adalah daerah berbahaya. Yang setengah benar lebih mudah menyesatkan orang, katimbang yang sepenuhnya salah. Orang yang bodoh jauh lebih mudah dihadapi katimbang orang yang setengah pintar. Orang yang mengaku tidak tahu, jauh lebih simpatik, katimbang orang yang “sok tahu”. Yang belakangan ini sungguh memuakkan.
Fitnah atau gosip – yang amat sangat jahat itu – biasanya ada dalam bentuk yang “setengah benar”. Yesus dan Paulus pernah menjadi korban kesaksian  dan tuduhan yang setengah benar. (bnd. Matius 27 : 39-42, Kisah Para rasul  24 : 5-6).


Awas, keyakinan-keyakinan yang setengah benar, bisa memicu tindakan-tindakan yang fatal. Gejolak-gejolak kkerusuhan dan kekerasan  massa yang banyak terjadi, hampir selalu disebabkan oleh ulah provokator yang menghembuskan isu-isu yang setengah benar.  Karena itu, ,  mari kita tidak hanya mewaspadai yang salah, tetapi juga mencermati yang setengah  benar, agar tidak mudah  terpedaya.
Bila masyarakat bisa mendorong kejahatan, dapatkah masyarakat itu diubah ? Jawabab saya dapat ! Tetapi untuk itu, kita perlu menyadari dulu bahwa ada banyak pemahaman yang setengah benar mengenai hubungan manusia dengan masyarakat. Hal-hal yang tidak seluruhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Yang setengah benar lebih sering menyesatkan katimbang yang sepenuhnya salah.
Pemahaman yang setengah benar itu misalnya, keyakinan bahwa manusialah yang menentukan masyarakat. Bukan masyarakat yang menentukan manusia. Ini banyak benarnya, bukan ? Sebab memang manusialah yang membentuk masyarakat. Tuhanlah yang m,enciptakan manusia, bukan masyarakat. Manusia pulalah yang menentukan aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat.  Mengapa masyarakat Jepang bisa berubah begitu radikal, dari sebuyah masyarakat yang amat tertutup sebelum Perang Dunia II, menjadi masyarakat yang amat modern dan terbuka sekarang ini ? Karena orang-orang menghendaki demikian. Karena manusia menentukan masyarakat.
Toh pernyataan tersebut cuma setengah benar. Separo kebenaran lainnya adalah : betapa dahsyatnya masyarakat itu membentuk  manusia ! Setelah pengamatan yang panjang, Will Herberg menyimpulkan bahwa  orang Protestan Amerika jauh lebih dekat dengan orang Katolik Amerika, katimbang dengan orang Ghana yang sama-sama Protestan. Artinya, dalam realitas masyarakat di mana seseorang hidup jauh lebih menentukan katimbang agama yang diasnutnya.

            Orang-orang Singapura terkenal amat disiplin. Ini pasti bukan terutama dimotivasi oleh agama yang mereka anut. Seperti keamburadulan orang-orang Indonesia, juga pasti bukan karena agamanya. Dalam hal ini konsistensi dalam penegakan hukum  jauh lebih efektif katimbang khotbah. Dengan perkataan lain, pentingnya faktor agama dalam menentukan sikap dan tindak-tanduk manusia, sering terlampau dilebih-lebihkan. Tidak seluruhnya salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar