Kamis, 28 Oktober 2010

KEHINAAN DAN HIKMAT ALLAH ( I Korintus 1:18-31 )


Dalam kehidupan bermasyarakat maupun beragama, kita sering mendengar ataupun diajar tentang standar-standar yang kita pakai untuk menilai diri sendiri maupun orang lain. Dalam masyarakat Jawa misalnya, dikenal filsafat “bobot, bebet, bibit” yang pada prinsipnya melihat seseorang dari keberhasilan secara material, pendidikan, dan asal-usul keluarga, sebagai ukuran orangtua dalam menilai calon jodoh untuk anaknya.
            Di kebanyakan masyarakat di Indonesia seseorang akan mendapat penghargaan tinggi dan dianggap hebat manakala orang tersebut memiliki serentetan gelar akademis. Sehingga tidak heran jika banyak orang  dengan bangga mencantumkan gelar akademisnya, sekalipun mungkin orang tersebut memperolehnya dengan cara membeli gelar yang sekarang banyak diperjual-belikan.
            Di dalam kehidupan beragama, kita juga sering diajar tentang ukuran-ukuran yang dapat kita pakai untuk melihat di level mana pemahaman keberagamaan kita berada. Standar-standar dan ukuran yang nampaknya umum dan wajar bahkan mungkin dimaksudkan  untuk menolong kita untuk hidup secara bijaksana tadi seringkali justru membuat kita menjadi orang yang lebih mudah menghakimi orang lain, dan sulit melihat hikmat Allah yang lebih luas dari standar yang kita pakai tadi.
Kita sering terjebak untuk melihat orang dari luarnya : hartanya, jabatannya, pendidikannya, bahkan gelarnya, atau asal-usulnya. Atau, kita sering terjebak untuk membatasi karya Allah dalam dunia ini hanya berdasar ukuran-ukuran yang kita buat sendiri.




            Kota Korintus pada abad pertama adalah kota yang sangat terkenal sebagai pusat kemaksiatan : pelacuran, perjudian, hiburan malam, perdagangan obat-obatan, orang dari berbagai bangsa, semua ada dan berpusat di sana. Ada pepatah Yunani yang terkenal pada waktu itu “berkorintus-ria” artinya, hidup bersenang-senang, tanpa batas dan tanpa harus memperhatikan norma-norma dan aturan agama yang ada. Kota terbesar kedua setelah Roma itu adalah kota tujuan bagi para “penyembah uang”. Dengan reputasinya sebagai kota maksiat pada waktu itu, Korintus hampir tidak pernah masuk dalam bayangan para Rasul akan menjadi tempat di mana salah satu Gereja perdana, bahkan termasuk yang terbesar akan didirikan. Paulus  bahkan dengan jujur mengagambarkan dirinya sendiri waktu pertama kali datang ke Korintus, “dalam kelemahan dan dengan sangat takut dan gentar”( 2:3 ). Akan tetapi kita membaca bahwa Paulus dengan pertimbangan tertentu, dan juga dengan tuntunan Roh Kudus tetap datang ke Korintus dan melakukan pewartaan Injil, sampai kemudian kita tahu, jemaat yang besar berkembang di situ.
            Dalam konteks yang demikianlah Paulus mengingatkan mereka akan keadaan mereka yang mula-mula saat mereka  “dipanggil”  menjadi orang yang percaya, menjadi umat Allah : mereka semua adalah orang-orang yang menurut standar umum – orang yang tidak layak (26). Tak seorangpun dari mereka pada waktu itu, baik oleh ukuran Yahudi maupun Yunani, layak disebut sebagai orang berhikmat. Ayat (22) hal ini karena apa yang diberitakan oleh Paulus, yaitu Salib Kristus dan kebangkitanNya sama sekali berbeda dengan pengharapan orang Yahudi maupun kepercayaan dan logika orang Yunani. Kedua bangsa itu menurut hikmat Paulus adalah bangsa-bangsa yang hidup dalam standar-standar dan ukuran-ukuran yang sudah pasti, ukuran-ukuran yang mereka buat sendiri. Kenyataan itu justru, menurut Paulus, menjadi hal yang menghalangi mereka untuk melihat dan menerima hikmat Allah di dalam Yesus, dalam kematian dan kebangkitanNya.


            Sebaliknya orang-orang Korintus, yang terbiasa dengan dunia hura-hura, dunia yang oleh sebagian besar orang dianggap sebagai dunia yang serba “mudah”, sederhana, justru menjadi mudah melihat dan memahami, selanjutnya menerima pemberitaan Paulus tentang seorang  Kristus yang disalib dan kemnudian dibangkitkan oleh Allah. Dengan realitas itu, mereka, orang-orang Korintus sesungguhnya telah dipakai Allah untuk mencelikkan mata dunia. Bahwa tidak semua yang dianggap bodoh, rendah, hina, kecil, tidak berarti, selalu demikian juga di mata Allah. Sebaliknya “apa yang bodoh bagi dunia, dipilih oleh Allah untuk memalukan orang-orang yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan yang berarti “. (27-28). Apa arti dan konsekuensi dari realitas itu ? Ayat 29 menjadi jawabannya, yaitu supaya tidak seorangpun menganggap diri lebih hebat dari yang lainnya, supaya tidak seorangpun memegahkan diri di hadapan Allah, yang berarti juga, sekaligus dihadapan manusia.
            Dalam konteks itulah, di awal perikop kita Paulus mengutip Yesaya 29:14, bahwa Allah akan membinasakan hikmat orang-orang yang berhikmat, dan kearifanm orang-orang bijaksana. Karena bukan lagi hikmat dan kearifan lagi namanya, jika keduanya hanya menghasilkan kesombongan, kecongkakan dan kemegahan diri pemiliknya. Justru ketika orang-orang yang merasa sudah memiliki hikmat dan kearifan itu tidak lagi bisa menghargai orang-orang yang biasanya dianggap kecil, rendah dan tak bernilai, tak berarti, sesungguhnya pada saat itu juga dia menunjukkan dirinya sebagai orang yang tak berhikmat. Justru pada saat itu dia telah menghilangkan kesempatan untuk memperoleh hikmat dan menjadi orang yang berhikmat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar