Kamis, 28 Oktober 2010

PEMIMPIN PELAYAN


Seminggu  lagi kita  akan melaksanakan pilkada langsung. Kita patut bersyukur karena memiliki kesempatan memilih langsung pemimpin kita.Karena itu marilah kita memanfaatkan hak pilih kita dengan benar untuk memilih para pemimpin kita, dalam suasana  aman, damai dan tertib. Sebagai umat beragama kita berdoa agar Tuhan memilihkan bagi kita pemimpin yang sungguh kapabel sekaligus fleksibel, pembrani sekaligus hati-hati, tegas sekaligus bijak, berpandangan jauh kedepan sekaligus teguh berpijak pada kekinian. Sadar bahwa mereka adalah pemimpin yang dipilih untuk melayani Tuhan melalui kepemimpinannya.
            Seorang pakar kepemimpinan yang sangat terkenal, seorang penulis yang rasional, intelektual dan juga religius mengatakan “bahwa sangat sedikitlah orang yang dilahirkan atau ditakdirkan sebagai pemimpin. Jumlahnya dapat dihitung dengan jari tangan. Namun sebaliknya, semua orang tanpa kecuali dilahirkan dan dipanggil untuk menjadi pelayan. Inti yang ingin disampaikan adalah, bahwa bila “kepemimpinan” itu hanya ditakdirkan bagi sangat sedikit “orang pilihan”;  tapi “kepelayanan” sebaliknya. Kepelayanan ditakdirkan untuk semua orang. Dan “talkdir” ini terus melekat, tak pernah tanggal dari bahu manusia. Ya sekalipun, katakanlah yang bersangkutan kini sudah menjadi seorang pemimpin. Si Pemimpin ini tetap seorang pelayan. Seorang hamba. Ia harus menjalankan kepemimpinannya itu sebagai seorang pelayan. Itu sebabnya ia menamakan teorinya itu “Kepemimpinan yang menghamba”. Servant leadership
            Pandangan seperti ini tentu banyak benarnya. Tak kurang Yesus sendiri mendukungnya, “Barangsiapa ingin menjadi besar diantara kamu, “begitu pernah Yesus berkata, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka diantara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya “ (Markus 10:43-44). Seorang “pemimpin” yang baik  harus mau menjadi “pengikut’ yang baik. Tidak hanya pintar bekoar tapi mesti juga peka mendengar.
Tidak sekedar mahir dan gemar mendamprat, tapi harus pula bersedia taat dan hormat. Dengan itulah ia memperlihatkan kualitas karakter dan kepribadiannya.. Seorang “pemimpin” yang bajik harus terlebih dulu lulus sebagai “hamba” yang baik.
            Sebab dengan meremdahkan diri itulah, yang bersangkutan membuktikan kesungguhan dan ketanguhannya dalam menundukkan diri sendiri. Apa yang dikatakan pakar sungguh penting dan benar. Tapi ada sisi lain juga dalam Alkitab yang mengatakan  bahwa orang tidak cuma ditakdirkan sebagai “pelayan” , tetapi juga  sebagai “pemimpin”. Kebenaran ini malah sudah berlalu sebelum dosa datang, bahkan sebelum manusia diciptakan. Ia merupakan bagian dari rancangan atau desain ciptaan Allah dari awalnya.
            Setelah selesai menciptakan segala sesuatu, Allah bersabda, “Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut, dan burung di udara dan atas ternak dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi (Kejadian 1:26). Dalam desain  tersebut, “manusia” dijadikan “menurut gambar dan rupa  Allah”. Artinya, pada satu pihak, ia bukan Allah. Ia tetap mahluk. Ciptaan. Tak lebih dari mahluk-mahluk lain. Namun demikian di lain pihak, ia lebih. Lebih karena mahluk yang satu ini – “mannusia” – adalah “citra Allah”.
            Dalam hal apa saja manusia merefleksikan Allah ? Dalam banyak hal. Seluruh kedirian manusia – kecuali dalam hal kefanaan dan keterbatasannya – diciptakan untuk mencerminkan (bukan menyamai!) kedirian Allah. Bila tidak dalam “hakikat’ atau dalam “zat”, ya paling sedikit ada kesejajaran dalam “sifat”. Misalnya dalam kehendak bebas dan kreativitas, dalam kecerahan akal budi dan kesadaran hati nurani.
            Dalam kejadian 1:26 yang saya kutipkan di atas, ke “ilahi” an manusia secara khusus dinampakkan melalui “kekuasaan” yang dianugrahkan Allah kepadanya. Dengan perkataan lain, keilahian dalam diri manusia nampak melalui KEPEMIMPINANNYA !. itu artinya, sejak awal mula penciptaan, manusia telah ditakdirkan sebagai “pemimpin”.  Kepemimpian manusia itu, menurut Kejadian 1;26 adalah sekaligus merupakan hakekat, mandat dan berkat Allah. Pertama, kepemimpinan adalah sesuatu yang melekat pada “hakekat” manusia. Karenanya, hakekat kemanusiaan seseorang tercermin melalui kepemimpinannya. Kedua, kepemimpinan adalah “mandat”, Artinya, kelayakan seseorang menjadi  pemimpin, bukanlah terutama merupakan hasil kelihaian sebuah tim sukses, atau hasil kepandaian yang bersangkutan mengobral janji dan menebar uang gizi. Kepemimpinan adalah penugasan Allah, karena itu mesti dilaksanakan sesuai dengan kehendakNya. Memimpin bukanlah memperoleh lisensi untuk berbuat semau-maunya  atau mengeruk untung sebanyak-banyaknya – mumpung. Dan akhirnya Ketiga, kepemimpinan adalah “berkat”. Menjadi pemimpin adalah karunia ilahi yang sangat unik. Sesuatu yang tidak dimiliki oleh mahluk-mahluk lain. Sebab itu luhur dan mulia.
            Konsekuensinya, orang harus menjalankan kepemimpinannya dengan syukur, hormat dan khidmat. Jangan menodainya dengan tindakan-tindakan yang serampangan dan tidak ilahi. Sebab bila itu yang dilakukan, maka yang dihadapi tak kurang adalah Allah sendiri. Selamat memilih. Tuhan memberkati.           
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar