Kamis, 28 Oktober 2010

HIKMAT DAN TOPENG


Lina sangat sadar bahwa ia baru saja melakukan kesalahan fatal. Ia meminjamkan uang kantor dalam jumlah besar kepada pacarnya tanpa seijin atasannya. Ia tidak bisa mengelak walaupun pemeriksaan administrasi belum dilakukan. Ia pasti tidak bisa mengelabui petugas pemeriksaan, sekalipun Lina sangat  “professional” ( baca  ahli ) di bidang pembukuan. Satu-satunya jalan yang masih bisa ditempuh oleh Lina adalah meminta kebijaksanaan atasan. Iapun segera menghadap dan menjelaskan kesalahannya, lalu meminta dengan hormat kebijaksanan dari sang atasan. “Saya minta kebijaksanaan Bapak untuk menolong saya”. Dalam kalimat pendek itu, Lina minta dua hal sekaligus. Supaya tidak dihukum, sekaligus supaya sang atasan menutupi alias mempetieskan kesalahan Lina. Atau sekurang-kurangnya menyelesaikan secara privat alias empat mata.
            Terminologi hikmat yang alias dengan kebijaksanaan, menurut Kamus besar Bahasa Indonesia mestinya diartikan sebagai kearifan. Yaitu tingkat kemampuan untuk membedakan  apa yang baik dan benar dengan apa yang jahat dan salah (Bandingkan  permohonan Salomo dalam (I Raja-Raja 3:9). Pastilah Lina tak meminta kearifan semacam itu kepada sang atasan. Yang ia minta adalah, kemunafikan, pengelabuan, persekongkolan terhadap kejahatannya. Maka dalam kasus dan kamus Lina, kebijaksanaan alias hikmat adalah topeng yaitu suatu alat untuk menutupi atau menyembunyikan yang sebenarnya. Hikmat sama dengan kepalsua
            Dalam dunia modern dimana kebohongan sering dianggap sebagai kata-kata mutiara, pemuarbalikan fakta menjadi suatu yang biasa. Maka jangan heran kalau mencari arti atau makna sebuah kata atau ungkapan, ternyata menjadi lain. Bahasa dunia modern tidak meneliti kekuatan etimologi tetapi kekuatan eufemisme. Itulah yang kita  pahami ketika  ‘kelaparan” diganti dengan kata “kekurangan pangan”. Atau ketika “kenaikan harga” disebut sebagai “penyesuaian”. Namun dalam kasus kata “hikmat”, tidak hanya telah terjadi eufemisme tetapi kontradiksi, bahkan pemutarbalikan fakta. Kalau hikmat yang secara etimologi berarti kemampuan membedakan yang baik dan buruk, yang benar dan yang salah, maka dalam penggunaan orang modern sekarang, kata itu justru  mengandung makna kemampuan menutupi kesalahan alias kejahatan. Bahkan seringkali pula diartikan sebagai kemampuan menyunat kejahatan menjadi kebaikan dan keburukan atau kesalahan menjadi kebenaran. Kekuatan kata itu sering pula dikalahkan oleh sejumlah uang atau bahkan cukup dengan senyum manis nan genit dara semacam lina.
            Dalam banyak pengalaman, meminta kebijaksanaan lebih berkonotasi negatif, terutama ketika kata itu dipakai dalam hubungan dengan permasalahan materi, uang atau harta. Manusia modern yang konon semakin materialistis, banyak keputusan dibuat dengan kebijaksanaan atau dengan hikmat palsu. Orang menerima pegawai bukan berdasaran keahlian dan kebutuhan tetapi berdasarkan koneksi dan koleksi alias uang sogokan. Dalam memutus perkara di pengadilan, kecenderungan serupa  sering pula terjadi. Maka lama kelamaan,  sang hikmat berubah dari arif menjadi cerdik kemudian menjadi licik. Siapa paling ahli mengelak  maka dialah yang berhikmat. Itulah sebabnya uang atau materi menjadi tujuan manusia modern.
            Dalam Alkitab, hikmat merupakan maskot keberhasilan dalam kehidupan. Salomo, raja yang paling terkenal, terkenal karena hikmatnya bukan karena uang atau koneksinya. Itu sebabnya hikat disebut lebih berharga daripada permata dan jauh  melebihi emas (Amsal  8:11; 16:16). Bahkan hikmat disebut memelihara kehidupan danm melebihi keperkasaan ( Pengkotbah 7:12, 9:16). Harta dan fakta sering dianggap tujuan yang luhur dari kehidupan manusia. Namun menurut Alkitab hikmat adalah yang terpenting bagi manusia untuk berhasil (Pengkotbah 10:10).


            Siapa ingin berhasil dalam hidupnya maka ia tidak sekedar memerlukan uang atau jabatan/kedudukan. Ia juga memerlukan hikmat yaitu kemampuan untuk mengatakan yang benar yang akan melanggengkan harta dan jabatan yang dipercayakan Tuhan kepadanya.. Harta dan jabatan yang tidak disertai hikmat membuat orang tamak dan sombong. Sebaliknya hikmat membuat orang rendah hati. Itu sebabnya dikatakan “permulaan hikmat adalah takut akan Tuhan” (Mazmur 111:10, Amsal 9:10).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar