Kamis, 28 Oktober 2010

TIDAK MELUPAKAN TUHAN KETIKA MENGAMBIL KEPUTUSAN


Setiap hari semua orang harus mengambil keputusan-keputusan yang menyangkut semua perkara kehidupan dari yang paling sederhana sampai yang paling rumit.Dari masalah yang remeh sampai dengan masalah serius bahkan yang menyangkut hidup mati. Dari sini kita sudah bisa melihat betapa pentingnya kebijaksanaan – kemampuan untuk mengambil keputusan yang tepat untuk masalah yang tepat pada waktu yang tepat, dan dengan cara atau jalan yang tepat – supaya tindakan yang kemudian diambil sungguh menopang terwujudnya kesejahteraan hidup.
            Dalam beberapa kasus ketika ada anggota keluarga yang sudah sakit bertahun-tahun, belum juga  sembuh, lalu ada orang mengusulkan pergi ke “orang pintar”. Apa yang harus kita lakukan ? Dalam kasus orang sakit, mungkin  ada yang pernah menghadapi pasien yang sudah tidak sadarkan diri di rumah sakit sekian bulan.  Mana pilihan yang harus kita ambil ? Melepas semua selang dan mesin-mesin pacu jantung dan alat bantu pernafasan ? Atau membiarkan saja pasien dalam keadaan demikian ? Menurut istilah teologis, inilah keputusan yang bersifat etis. Ia harus diambil bukan dengan berdasarkan selera, atau feeling, apalagi mengekor orang lain, melainkan di dalam pergumulan iman dan doa. Dalam bahasa sehari-hari, sering orang berkata : “Kita perlu melibatkan Tuhan dalam pengambilan keputusan ini. Kita tidak boleh melupakan Tuhan untuk mengambil keputusan ini”.
            Teks alkitab dalam Yosua 9:3-21 menuturkan pengalaman umat Israel ketika memasuki Tanah Kanaan.
Umat itu telah berhasil mengalahkan bangsa-bangsa Kanaan dan merebut tanah mereka sejengkal demi sejengkal. Ketika berita ini sampai kepada penduduk Gibeon, mereka memasang suatu taktik untuk menghadapi umat Israel. Mereka tidak mau melawan pasukan Israel yang – menurut pandangan penilaian orang Gibeon – pasti jauh lebih kuat dan lebih perkasa dibandingkan dengan kemampuan mereka. Mereka melakukan penyamaran, berpura-pura sebagai pendatang asing, dan mohon tinggal di tengah-tengah umat Israel, bahkan bersedia untuk menjadi hamba. Untuk itu, mereka mohon agar umat Israel menjamin keamanan dan keselamatan mereka. Karena percaya pada perkataan dan penampilan mereka yang lusuh, compang-camping dan tampak lelah serta kelaparan, Yosua menyambut tawaran itu. Maka diadakanlah perjanjian antara orang Israel dan orang Gibeon.
            Tiga hari kemudian terbongkarlah rahasia orang Gibeon itu. Mereka terbukti bukan pendatang atau orang asing, melainkan penduduk asli setempat yang menyamar sedemikian rupa, agar mendapat belas kasihan dari umat Israel yang datang menduduki tanah dan negeri mereka. Setelah mengetahui kenyataan ini, semua umat Israel merasa dibodohi, ditipu, dipedayai. Namun mereka tidak dapat bertindak lain kecuali tetap berpegang pada perjanjian yang sudah dibuat dengan orang Gibeon itu.
            Menurut pengarang Kitab Yosua, kesalahan telah dilakukan oleh  umat Israel dan para pemimpinnya, sebab  “mereka tidak meminta keputusan Tuhan” (Yos. 9:14). Tapi, apa boleh buat ? Nasi sudah jadi bubur. Keputusan sudah terlanjur. Kesepakatan dan perjanjian dengan orang Gibeon sudah diambil.
            Pengalaman ini amat berkesan bagi umat Israel. Mereka merasa telah ditipu mentah-mentah oleh akal orang Gibeon karena mereka hanya mengandalkan kekuatan sendiri, tanpa meminta petunjuk dari Tuhan.
Pengalaman pahit ini diharapkan dapat menjadi suatu pelajaran berguna bagi umat Allah agar tidak melupakan Dia di dalam mengambil keputusan etis.  Dalam keputusan ini, sesungguhnya iman dan pengharapan umat Allah itu dipertaruhkan. Bukan hanya itu. Keselamatan dan masa depan umat Allah juga dipertaruhkan..
            Dalam mengambil keputusan, orang modern sering menggunakan akal sehatrnya. Tapi akal sehat saja tidak cukup. Sebagai orang beriman, kita perlu mengundang dan melibatkan Tuhan dalam keputusan yang kita akan ambil, terutama untuk keputusan etis. Keputusan etis menyangkut keyakinan sendiri, nasib orang lain, nasib kita sendiri, gereja kita , bahkan juga bangsa dan negara kita. Di dalam keputusan etis kita harus bergumul terus untuk mencari dan mendengarkan maksud Tuhan.
            Kesalahan umat Israel telah diakui dan disadari. Dan Tuhan sendiri telah mengampuni kesalahan itu. Ini terbukti dengan sebuah akhir yang indah, ketika orang Gibeon yang tidak mengenal Tuhan, pada akhirnya menyembah Yahweh sebagai Allah mereka. Hal ini tidak berarti bahwa Tuhan boleh saja kita by-pass atau abaikan. Umat Allah selalu dituntut untuk mengundang Tuhan dalam setiap keputusan yang akan diambilnya, terutama keputusan yang bersifat etis.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar