Kamis, 28 Oktober 2010

MELAWAN TANPA KEKERASAN


Di tengah dunia yang makin marak dengan kekerasan, kita terpanggil menggali pengajaran Tuhan Yesus yang membangun sikap hidup tanpa kekerasan(nir-kekerasan). Nir- kekerasan bukanlah cara untuk menghindari konflik, tapi sebuah cara tertentu untuk menghadapi konflik. Nir- kekerasan harus dibedakan dari tanpa perlawanan. Nir- kekerasan tidak bertujuan untuk mengalahkan musuh, tapi untuk memenangkannya. Melalui renungan berikut kita akan mendalami isi pengajaran Tuhan Yesus dalam Injil Matius 5:38-42, kali ini menurut tafsiran buku yang berjudul  “Don’t Forgive Too Soon.”
“Kamu telah mendengar  firman : mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu : jangan kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapapun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu.Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. Dan siapapun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil. Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam daripadamu”
Dalam kebudayaan di mana Yesus hidup, memukul dengan menggunakan sisi belakang tangan merupakan bahasa tubuh yang memiliki arti spesifik. Gerak simbolis (gestur) ini hanya digunakan oleh mereka yang mempunyai kekuasaan lebih besar untuk mempermalukan mereka yang berada di bawah kekuasaannya. Majikan akan menampar budak dengan sisi belakang tangan…Pesannya ialah :”ingatlah posisimu…., yaitu di bawah aku”. Jika kita melakukan seperti yang dikatakan oleh Injil dan memberikan pipi kita  yang sebelah lagi (pipi kiri)  dan majikan msih harus menggunakan tangan kanannya, maka dia tidak dapat lagi menggunakan sisi belakang tangannya. Jika dia memukulnya kembali, dia harus menggunakan tinju. Memukul seseorang dengan kepalan tinju adalah sikap tubuh (gestur) yang digunakan  hanya untuk orang-orang yang berkedudukan sama. Jadi dengan menyerahkan pipi yang lain kita telah mendapatkan kehormatan  sekaligus mengkomunikasikan bahwa kita menolak untuk dihina dan dipermalukan…. Dan kita telah melakukan semuanya itu tanpa kekerasan, tanpa membalasnya”.
“Serahkan juga jubahmu”, konteks kalimat ini adalah sistem ekonomi yang sangat eksploitatif di mana tuan tanah yang kaya menerapkan bunga yang tinggi untuk memaksa orang-orang miskin melepaskan tanah-tanah mereka. Bagi mereka yang telah kehilangan segalanya, yang tertinggal sebagai jaminan atas pinjaman adalah  ”jubah”  mereka. Dalam kebudayaan Yesus, melihat orang lain dalam keadaan telanjang merupakan skandal daripada orang yang telanjang itu sendiri. Seperti dikatakan oleh Walter Wink : “Kreditor itu bukan dinyatakan sebagai peminjam uang yang resmi, tetapi bagian dari suatu golongan yang berusaha mereduksi kelas sosial secara menyeluruh supaya tidak bertanah, melarat dan terhinakan. Pengungkapan kedok ini tidak hanya bersifat menghukum, tetapi juga menawarkan peluang kepada si kreditor untuk melihat akibat dari perbuatannya yang mungkin baru pertama kali dialami dalam hidupnya, dan untuk menyesalinya”.  Sekali lagi  kita telah mendapatkan kembali kehormatan dengan jalan mengambil kembali kekuatan kita untuk  merespon sendiri, semuanya tanpa kekerasan. Lebih lagi kita telah menawarkan kepada penindas suatu kesempatan untuk berubah.
“Berjalanlah dua mil ?”. Di Palestina pada masa Yesus, prajurit Romawi sering sekali memaksa warga setempat untuk membawa beban-beban  mereka yang cukup berat, sementara orang Romawi sendiri membenci praktek kerja paksa. Namun orang Romawi cukup lihai untuk menghindari pemberontakan. Mereka menetapkan hukum yang membatasi jumlah pekerja paksa sesuai keperluan yang pantas. Dalam hal membawa beban, seorang prajurit Romawi dapat mengerahkan warga setempat untuk membawanya hanya sejauh satu mil. Jika prajurit itu mrenuntut lebih maka ia sendiri dapat dihukum. Di Romawi dengan mudah kita dapat mengetahui jarak sejauh satu mil itu, karena jalan-jalan itu selalu diberi tanda. Kalau akhirnya kita tiba di tanda satu mil itu, dan bukannya kita yang mengembalikan barang bawaannya, tetapi malah tetap memikulnya dengan senang hati. Prajurit Romawi itu sekarang bingung bukan kepalang dan takut bahwa dia akan dihukum. Bayangkan bagaimana ia memohon  untuk mengembalikan barang bawaannya! Sekali lagi kita telah mendapatkan kembali kehormatan dan kekuatan untuk memilih reaksi sendiri dan menolak diperlakukan sebagai  korban, semuanya dilakukan tanpa memukul prajurit itu atau terlibat dalam lingkaran kekerasan.
“Jangan kamu melawan orang yang brbuat jahat kepadamu”. Kata yang kita terjemahkan melawan berasal dari bahasa Yunani “anistenai”, artinya: melawan, menolak kekerasan, atau memberontak dalam pengertian militer. Jadi Yesus mengatakan kepada kita untuk tidak membalas dendam mata ganti mata –  atau dengan kata lain, membalas kekerasan dengan keramahan. Bahkan jika seseorang menganiaya atau menghina, Yesus mengajak kita menemukan cara yang kreatif dan tanpa kekerasan untuk menolak dan mendapatkan kembali kehormatan kita. Meski dalam suasana ketidakadilan yang tidak dapat kita ubah sepenuhnya, kita paling tidak dapat memelihara kekuatan kita untuk memilih respon kita sendiri katimbang menjadi korban yang pasif. Seperti yang dikatakan Mahatma Gandi :”Prinsip pertama dari aksi tanpa kekerasan adalah tidak mentolerir segala bentuk pelecehan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar