Kamis, 28 Oktober 2010

KEBERANIAN MENUNJUKKAN KESALAHAN (II SAMUEL 12 :1-13 )


TUHAN mengutus Natan kepada Daud. Ia datang kepada Daud dan berkata kepadanya: "Ada dua orang dalam suatu kota: yang seorang kaya, yang lain miskin. Si kaya mempunyai sangat banyak kambing domba dan lembu sapi; si miskin tidak mempunyai apa-apa, selain dari seekor anak domba betina yang kecil, yang dibeli dan dipeliharanya. Anak domba itu menjadi besar padanya bersama-sama dengan anak-anaknya, makan dari suapnya dan minum dari pialanya dan tidur di pangkuannya, seperti seorang anak perempuan baginya. Pada suatu waktu orang kaya itu mendapat tamu; dan ia merasa sayang mengambil seekor dari kambing dombanya atau lembunya untuk memasaknya bagi pengembara yang datang kepadanya itu. Jadi ia mengambil anak domba betina kepunyaan si miskin itu, dan memasaknya bagi orang yang datang kepadanya itu." Lalu Daud menjadi sangat marah karena orang itu dan ia berkata kepada Natan: "Demi TUHAN yang hidup: orang yang melakukan itu harus dihukum mati. Dan anak domba betina itu harus dibayar gantinya empat kali lipat, karena ia telah melakukan hal itu dan oleh karena ia tidak kenal belas kasihan." Kemudian berkatalah Natan kepada Daud: "Engkaulah orang itu! Beginilah firman TUHAN, Allah Israel: Akulah yang mengurapi engkau menjadi raja atas Israel dan Akulah yang melepaskan engkau dari tangan Saul. Telah Kuberikan isi rumah tuanmu kepadamu, dan isteri-isteri tuanmu ke dalam pangkuanmu. Aku telah memberikan kepadamu kaum Israel dan Yehuda; dan seandainya itu belum cukup, tentu Kutambah lagi ini dan itu kepadamu. Mengapa engkau menghina TUHAN dengan melakukan apa yang jahat di mata-Nya? Uria, orang Het itu, kaubiarkan ditewaskan dengan pedang; isterinya kauambil menjadi isterimu, dan dia sendiri telah kaubiarkan dibunuh oleh pedang bani Amon. Oleh sebab itu, pedang tidak akan menyingkir dari keturunanmu sampai selamanya, karena engkau telah menghina Aku dan mengambil isteri Uria, orang Het itu, untuk menjadi isterimu. Beginilah firman TUHAN: Bahwasanya malapetaka akan Kutimpakan ke atasmu yang datang dari kaum keluargamu sendiri. Aku akan mengambil isteri-isterimu di depan matamu dan memberikannya kepada orang lain; orang itu akan tidur dengan isteri-isterimu di siang hari. Sebab engkau telah melakukannya secara tersembunyi, tetapi Aku akan melakukan hal itu di depan seluruh Israel secara terang-terangan." Lalu berkatalah Daud kepada Natan: "Aku sudah berdosa kepada TUHAN." Dan Natan berkata kepada Daud: "TUHAN telah menjauhkan dosamu itu: engkau tidak akan mati.”

            Orang Jawa, atau mereka yang dipengaruhi “budaya Jawa”, sering diasumsikan memiliki kecenderungan bersikap “ewuh pakewuh” ( serba sungkan). Akibatnya, mereka jadi kurang berani untuk berkata-kata secara “apa adanya”. Apalagi kalau itu menyangkut kesalahan pribadi teman sendiri, atau orang yang dikenal. Karenanya kesalahan teman, atau orang yang dikenal, akan cenderung ditutup-tutupi alias tidak akan diungkit-ungkit, khususnya secara langsung di depan orangnya.
            Tetapi ternyata asumsi bahwa yang punya sikap “ewuh pakewuh “ itu  hanya mereka yang dipengaruhi budaya jawa tidak seluruhnya tepat. Rupanya dalam pengaruh budaya manapun, tetap saja ada kecenderungan bahwa mengatakan kesalahan orang lain, baik yang dikenal maupun tidak, merupakan kesulitan. Situasi seperti itu sifatnya dilematis bagi siapa saja. Selain itu ada juga kekawatiran kalau-kalau orang lain itu tersinggung, atau “tidak terima”, kalau kesalahannya diomomgkan.
            Padahal, dalam sebuah komunitas, kesalahan seseorang di dalamnya akan mempengaruhi seluruh bagian. Lebih-lebih  kalau komunitas itu hidup dalam budaya “corporate personality”, seperti umat Israel zaman dulu. Kesalahan  seseorang, (dosa) Akhan misalnya, menyebabkan seluruh komunitas (Israel) dihukum Tuhan. Karena itu, dalam komunitas apapun, termasuk gereja, adanya penyimpangan atau kesalahan  sebaiknya tidak ditutup-tutupi. Kesalahan harus dipercakapkan untuk diperbaiki, apapun konsekuensinya, tapi dengan cara yang searif dan sebijaksana mungkin.
            Nabi Natan seperti terkutif dalam bacaan di atas, menunjukkan bahwa dirinya sebagai nabi Tuhan  berani menyatakan kesalahan, walaupun kesalahan itu dilakukan rajanya sendiri. Tapui Natan menyampaikan teguran itu bukan untuk menghina, mengolok-olok, merendahkan atau menjatuhkan sang raja, melainkan untuk mengembalikan sang raja pada kehidupan yang lebih benar, lebih kudus dan yang lebih berkenan kepada Tuhan. Maksud Natan baik, demikian juga caranya menyampaikan teguran. Melalui kisah perumpamaan yang tepat, Natan membawa Daud kepada kesadaran, dan akhirnya penyesalan, atas kesalah-kesalahannya. Dengan demikian Natan telah menyelamatkan Daud. Daud yang mau bertobat  tidak ( sampai ) dibinasakan Tuhan, walaupun dosanya tetap mendapatkan hukuman.
            Cerita mengenai perselingkuhan Daud dan Betrsyeba beserta pertobatan Daud dan hukuman yang dijatuhkan Tuhan kepadanya, merupakan salah satu kisah kehidupan anak manusia yang paling menarik dalam Alkitab.Kisah ini seringkali dibaca, direnungkan dan direfleksikan dalam berbagai forum persekutuan dan pembinaan. Daud sendiri sebagai pelaku utamanya, sangat “total” terlibat di dalamnya, baik cintanya kepada Betsyeba, pembelaannya bagi anak mereka, maupun penyesalannya yang sungguh-sungguh dan menyentuh perasaan. Kedalaman pergumulan Daud dalam perkara ini, dapat kita lihat dalam Mazmur 51 : sebuah pengakuan dosa yang mengharukan.
            Perselingkuhan Daud dan Betsyeba yang diceritakan dalam pasal 11, terjadi dengan awal yang “sangat kebetulan”.  Pada suatu petang, Daud yang baru bangun tidur siangnya, naik ke sotoh rumah istananya untuk “cari angin”. Tapi, dari atap istananya yang datar itu, Daud tiba-tiba saja melihat seorang wanita yang sedang mandi. Sosok wanita itu elok,dan Daud terpesona. Maka Daud  dengan kekuasaannya memerintahkan agar wanita itu dihadirkan di istana. Daud kemudian terlibat dalam perselingkuhan yang mengakibatkan Betsyeba hamil. Dan untuk menutupi kesalahannya itu, Daud kemudian mengikhtiarkan berbagai cara yang curang, termasuk perencanaan pembunuhan terhadap prajuritnya yang setia. Uria, suami Betsyeba. Rupanya dosa (yang hendak ditutupi), melahirkan dosa lain, yang bisa lebih keji dari dosa yang pertama.
            Pasal 12 ini menceritakan percakapan Natan yang mengunjungi Daud di istananya. Apa yang disampaikan Natan kepada Daud merupakan sikap Tuhan terhadap perbuatan Daud yang tidak terpuji ini. Tetapi, meskipun merupakan perintah Tuhan, Natan tidak menyampaikan tegurannya secara langsung, keras dan kejam, yang bisa memunculkan penyangkalan yang keras kepala. Natan menyampaikan teguran  secara bijaksana, dengan tidak langsung menuduh, melainkan dengan memakai  sebuah cerita perumpamaan (1-4). Natan juga tidak langsung menghakimi, melainkan  “membiarkan” Daud sendiri yang yang menentukan sikap terhadap orang kaya yang kikir  dan jahat dalam cerita perumpamaan tadi(5-6).
Barulah sesudah itu Natan mengatakan hal yang sebenarnya, yaitu bahwa Daudlah yang dimaksudkan oleh cerita tadi (ayat 7 dst). Daud kemudian sadar bahwa ternyata dirinyalah si terdakwa itu, bukan sang hakim.
            Meskipun Daud menyesali perbuatannya, hukuman atas dosanya tetap berlangsung. Daud sendiri tidak dibiasakan Tuhan. Daud diampuni. Tetapi, hukuman Tuhan tetap terjadi. Tak lama kemudian anak pertama yang dilahirkan Betsyeba bagi Daud binasa, meskipun Daud dengan berpuasa dan berdoa sunguh-sungguh memohon keselamatan bagi anaknya. Beberapa anak Daud yang lain,( Abnon,Abasalom,Adonia) mati terbunuh oleh pedang, sebagaumana Daud menyingkirkan Uria juga dengan pedang.

HIDUP LURUS - MENJAGA HATI ( AMSAL 4:23-27)


“Jagalah hatimu dengan segala kewaspadaan, karena dari situlah terpancar kehidupan.
Buanglah mulut serong dari padamu dan jauhkanlah bibir yang dolak-dalik dari padamu.
Biarlah matamu memandang terus ke depan dan tatapan matamu tetap ke muka.
Tempuhlah jalan yang rata dan hendaklah tetap segala jalanmu.
Janganlah menyimpang ke kanan atau ke kiri, jauhkanlah kakimu dari kejahatan.”

            Sangat sering kita  terkecoh berbicara  mengenai hal yang kelihatannya benar, tetapi sebenarnya salah atau sebaliknya hal yang kita anggap salah padahal benar. Seorang Profesor Etika pernah mengeluarkan teori yang  ia beri nama Etika Situasi. Pendapatnya itu segera menjadi bahan perdebatan dan kontroversi yang hebat. Ia  mengatakan  bahwa yang benar dan yang salah; yang baik dan yang jahat; itu adalah relatif. Tergantung dari situasi. Mengapa ? Karena ukuran benar atau salah serta baik atau jahat menurut etika Kristen adalah kasih.  Dan kasih itu selalu luwes, fleksibel, tergantung situasi. Pada situasi tertentu, kasih menghendaki kita bersikap lembut, mengalah. Tetapi pada situasi yang lain. Kasih justru menghendaki kita bersikap amat keras, tegas, tandas.
            Pandangan ini kelihatannya benar. Hidup jujur, hidup lurus, hidup benar, mesti lihat-lihat situasi ! Jangan sampai mencelakakan diri sendiri !  Pada situasi tertentu, menjilat itu baik bahkan harus, berbuat curang itu tepat. Sebaliknya, jujur, lurus, lugu itu bodoh ! Begitu realitanya. Benar. Tetapi kelihatannya saja benar. Padahal, salah. Apa sebabnya dikatakan salah ? Karena benar dan salah itu mirip pertandingan olah raga. Siapa yang bakal menang dan disebut juara, akan ditentukan di babak  final ! Kalau kita tidak jujur, tidak lurus, curang – bisa saja kita sukses, karier kita melesat, kita jadi kaya raya, kedudukajn menanjak terus. Bisa.
            Mazmur 73: 3-5 berkata, “Sebab aku cemburu kepada pembual-pembual, kalau aku melihat kemujuran orang-orang fasik. Sebab kesakitan tidak ada pada mereka, sehat dan gemuk tubuh mereka, mereka tidak mengalami kesusahan manusia, dan mereka tidak kena tulah seperti orang lain”. Tetapi  cuma berlaku dibabak-babak pendahuluan. Sedang di babak final ? Bacalah ayat berikut. “Sampai aku masuk ke dalam tempat kudus Allah, dan memperhatikan kesudahan mereka. Sesungguhnya di tempat-tempat licin Kutaruh mereka, Kujatuhkan mereka sehingga hancur. Betapa binasa mereka dalam sekejap mata, lenyap, habis oleh karena kedahsyatan !” (Mzm. 73:17-19).
            Hal lain yang sering kita anggap benar tapi sebenarnya salah, adalah anggapan ini : “Pada zaman itu, ya memang masih bisa begitu. Tetapi untuk zaman ini ? Zaman sudah berubah. Sekarang , “zaman edan”,  yang tidak mau ikut-ikutan gila tidak kebagian. Salah sendiri. Ada benarnya. Zaman memang sudah berubah. Berubah hebat. Dalam banyak hal kita harus bersedia berubah, menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman.
            Jangan katakan : hidup lurus itu hanya mungkin untuk orang zaman dulu, tidak untuk zaman sekarang. Tidak benar ! Kapanpun hidup lurus itu tidak pernah mudah. Zaman dulu , zaman sekarang. Manusia itu lebih suka yang cepat, yang gampang, yang enak- bukan yang benar. Kita menyangka  bahwa tuntutan Tuhan agar kita hidup lurus, jujur, benar itu “ah , teori!” saja. Tidak cocok untuk zaman sekarang, lebih-lebih bagi mereka yang bergerak di bidang bisnis dan politik.
            Tuntutan ini berlaku kapan saja, di mana saja, dalam keadaan apa saja.  Ada situasi-situasi tertentu, di mana hidup lurus itu relatif lebih mudah, dan ada situasi di mana hidup lurus itu nyaris mustahil. Karena itu ada kalanya kita berhasil, ada kalanya kita gagal. Bisa. Tetapi mudah atau sulit, berhasil atau gagal, tuntutan itu tetap berlaku.
Allah tetap tegar pada tuntutanNya, karena Ia yakin betul, inilah satu-satunya jalan yang selamat. Tuntutan Allah itu seperti yang kita baca pada awal tulisan ini adalah “harga pas”.
            Yang mesti lurus itu, pertama-tama, adalah hati. Karena dari situlah seluruh kemauan, kehendak dan keinginan kita diatur. Setalah hati yang kedua adalah mulut. Setelah hati kita punya kemauan, apa yang kita lakukan dengan mulut kita. Kalau mulut kita terus mengatakan, mesti gagal, tidak mungkin berhasil, kemauan yang sudah ada itu, tidak diberi dorongan, malah diperlemah kekuatannya.  Betapa penting apa yang dikatakan oleh mulut, baik kepada diri sendiri, maupun kepada orang lain. Yang ketiga adalah mata (ayat 25). Kalau hati sudah mengatakan tidak mau, mulut juga sudah mengatakan tidak mau, tetapi mata terus berkelana ke kanan dan ke kiri, bahaya.
            Ibu kita Hawa juga begitu. Hatinya mengatakan, “Saya tidak akan makan buah itu” ! Mulutnya juga mengatakan “Tidak mau ah ! Saya tidak boleh makan buah itu !” Tetapi apa yang terjadi, ketika matanya tidak memandang terus ke depan, ketika tatapan matanya tidak tetap ke muka ? Jelas sekarang mata itu penting, karena mata bisa membawa kita kepada macam-macam godaan. Sebab itu realistis doa yang diajarkan Tuhan kita, jangan membawa kami ke dalam pencobaan.
            Yang keempat (ayat 26-27). Kemauan sudah baik, yang kita katakan dengan mulut sudah betul, yang kita lihat dan perhatikan dengan mata juga semuanya sudah benar, kini mulailah melangkah, ayunkan kaki di jalan yang lurus.                          

KEHINAAN DAN HIKMAT ALLAH ( I Korintus 1:18-31 )


Dalam kehidupan bermasyarakat maupun beragama, kita sering mendengar ataupun diajar tentang standar-standar yang kita pakai untuk menilai diri sendiri maupun orang lain. Dalam masyarakat Jawa misalnya, dikenal filsafat “bobot, bebet, bibit” yang pada prinsipnya melihat seseorang dari keberhasilan secara material, pendidikan, dan asal-usul keluarga, sebagai ukuran orangtua dalam menilai calon jodoh untuk anaknya.
            Di kebanyakan masyarakat di Indonesia seseorang akan mendapat penghargaan tinggi dan dianggap hebat manakala orang tersebut memiliki serentetan gelar akademis. Sehingga tidak heran jika banyak orang  dengan bangga mencantumkan gelar akademisnya, sekalipun mungkin orang tersebut memperolehnya dengan cara membeli gelar yang sekarang banyak diperjual-belikan.
            Di dalam kehidupan beragama, kita juga sering diajar tentang ukuran-ukuran yang dapat kita pakai untuk melihat di level mana pemahaman keberagamaan kita berada. Standar-standar dan ukuran yang nampaknya umum dan wajar bahkan mungkin dimaksudkan  untuk menolong kita untuk hidup secara bijaksana tadi seringkali justru membuat kita menjadi orang yang lebih mudah menghakimi orang lain, dan sulit melihat hikmat Allah yang lebih luas dari standar yang kita pakai tadi.
Kita sering terjebak untuk melihat orang dari luarnya : hartanya, jabatannya, pendidikannya, bahkan gelarnya, atau asal-usulnya. Atau, kita sering terjebak untuk membatasi karya Allah dalam dunia ini hanya berdasar ukuran-ukuran yang kita buat sendiri.




            Kota Korintus pada abad pertama adalah kota yang sangat terkenal sebagai pusat kemaksiatan : pelacuran, perjudian, hiburan malam, perdagangan obat-obatan, orang dari berbagai bangsa, semua ada dan berpusat di sana. Ada pepatah Yunani yang terkenal pada waktu itu “berkorintus-ria” artinya, hidup bersenang-senang, tanpa batas dan tanpa harus memperhatikan norma-norma dan aturan agama yang ada. Kota terbesar kedua setelah Roma itu adalah kota tujuan bagi para “penyembah uang”. Dengan reputasinya sebagai kota maksiat pada waktu itu, Korintus hampir tidak pernah masuk dalam bayangan para Rasul akan menjadi tempat di mana salah satu Gereja perdana, bahkan termasuk yang terbesar akan didirikan. Paulus  bahkan dengan jujur mengagambarkan dirinya sendiri waktu pertama kali datang ke Korintus, “dalam kelemahan dan dengan sangat takut dan gentar”( 2:3 ). Akan tetapi kita membaca bahwa Paulus dengan pertimbangan tertentu, dan juga dengan tuntunan Roh Kudus tetap datang ke Korintus dan melakukan pewartaan Injil, sampai kemudian kita tahu, jemaat yang besar berkembang di situ.
            Dalam konteks yang demikianlah Paulus mengingatkan mereka akan keadaan mereka yang mula-mula saat mereka  “dipanggil”  menjadi orang yang percaya, menjadi umat Allah : mereka semua adalah orang-orang yang menurut standar umum – orang yang tidak layak (26). Tak seorangpun dari mereka pada waktu itu, baik oleh ukuran Yahudi maupun Yunani, layak disebut sebagai orang berhikmat. Ayat (22) hal ini karena apa yang diberitakan oleh Paulus, yaitu Salib Kristus dan kebangkitanNya sama sekali berbeda dengan pengharapan orang Yahudi maupun kepercayaan dan logika orang Yunani. Kedua bangsa itu menurut hikmat Paulus adalah bangsa-bangsa yang hidup dalam standar-standar dan ukuran-ukuran yang sudah pasti, ukuran-ukuran yang mereka buat sendiri. Kenyataan itu justru, menurut Paulus, menjadi hal yang menghalangi mereka untuk melihat dan menerima hikmat Allah di dalam Yesus, dalam kematian dan kebangkitanNya.


            Sebaliknya orang-orang Korintus, yang terbiasa dengan dunia hura-hura, dunia yang oleh sebagian besar orang dianggap sebagai dunia yang serba “mudah”, sederhana, justru menjadi mudah melihat dan memahami, selanjutnya menerima pemberitaan Paulus tentang seorang  Kristus yang disalib dan kemnudian dibangkitkan oleh Allah. Dengan realitas itu, mereka, orang-orang Korintus sesungguhnya telah dipakai Allah untuk mencelikkan mata dunia. Bahwa tidak semua yang dianggap bodoh, rendah, hina, kecil, tidak berarti, selalu demikian juga di mata Allah. Sebaliknya “apa yang bodoh bagi dunia, dipilih oleh Allah untuk memalukan orang-orang yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan yang berarti “. (27-28). Apa arti dan konsekuensi dari realitas itu ? Ayat 29 menjadi jawabannya, yaitu supaya tidak seorangpun menganggap diri lebih hebat dari yang lainnya, supaya tidak seorangpun memegahkan diri di hadapan Allah, yang berarti juga, sekaligus dihadapan manusia.
            Dalam konteks itulah, di awal perikop kita Paulus mengutip Yesaya 29:14, bahwa Allah akan membinasakan hikmat orang-orang yang berhikmat, dan kearifanm orang-orang bijaksana. Karena bukan lagi hikmat dan kearifan lagi namanya, jika keduanya hanya menghasilkan kesombongan, kecongkakan dan kemegahan diri pemiliknya. Justru ketika orang-orang yang merasa sudah memiliki hikmat dan kearifan itu tidak lagi bisa menghargai orang-orang yang biasanya dianggap kecil, rendah dan tak bernilai, tak berarti, sesungguhnya pada saat itu juga dia menunjukkan dirinya sebagai orang yang tak berhikmat. Justru pada saat itu dia telah menghilangkan kesempatan untuk memperoleh hikmat dan menjadi orang yang berhikmat.

SELAMAT, ANDA DAPAT DIPERCAYA !


Di setiap aras kehidupan, kepercayaan adalah sesuatu yang sangat penting Dalam dunia bisnis, kepercayaan antara pelakunya menempati  tempat utama. Misalnya saja apabila konsumen tidak mempercayai penjual; atau sebaliknya penjual tidak mempercayai konsumen, dapat dipastikan perjanjian jual beli tidak pernah terjadi. Apalagi kalau kepercayaan dikaitkan dengan kehidupan keluarga;  tidak dapat dipungkiri bahwa kepercayaan merupakan salah satu syarat kebahagiaan keluarga.l Suami mempercayai istrinya mampu mengurus rumah tangga dengan baik; istri percaya suaminya mampu menjaga kesetiaan walaupun ada di luar rumah; orangtua percaya anak-anak belajar dengan sebaik-baiknya; dan anak-anak percaya orangtua mencintai mereka walaupun keduanya bekerja.
Namun tidak dipungkiri bahwa mendapat kepercayaan tidaklah mudah. Biasanya kepercayaan baru akan diberikan oleh seseorang kepada orang lain apabila sudah ada bukti nyata. Sebaliknya, seseorang yang sudaah terlanjur membuat kesalahan, sulit untuk diberi kepercayaan. Jarang ada orang yang mau memberikan kepercayaan kepada orang lain tanpa perlu bukti; atau tetap memberi  kepercayaan terhadap orang yang telah berbuat salah. Kalau kepercayaan itu diberikan, maka hal itu sungguh pengalaman paling membahagiakan.
Di sisi lain, kepercayaan sangat menuntut tanggungjawab besar untuk memeliharanya. Kenyataannya banyak orang yang jatuh ketika harus memelihara keperrcayaan yang diberikan kepadanya. Akhirnya seperti pepatah :”Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tidak akan percaya” menjadi bagian dalam hidupnya.


Dalam Injil Lukas  19 : 11-27, kita menemukan cerita perumpamaan seorang bangsawan memberikan sepuluh uang mina kepada sepuluh orang hambanya. Perumpamaan versi Lukas ini memperlihatkan bahwa Sang Bangsawan memberikan jumlah uang yang sama kepada kesepuluh hambanya yaitu masing-masing satu mina. Berbeda dengan versi Matius, di mana sang tuan memberikan talenta yang berbeda kepada setiap hambanya sesuai dengan kemampuannya. Oleh karena itu Lukas lebih menekankan kepercayaan yang sama diberikan oleh sang bangsawan kepada para hambanya, daripada kemampuan tiap hambanya.
Demikian pula halnya dengan Allah melalui Yesus telah memberikan kepercayaan kepada setiap manusia tanpa terkecuali. Kepercayaannya sama, tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lain. Seharusnya ini menjadi berita yang menggembirakan bagi setiap orang karena Allah tidak menuntut buktinya lebih dulu; Allah juga tidak membedakan manusia ciptaanNya, siapapun sama di hadapanNya – sama-sama layak dipercaya – padahal manusia telah menghianati kepercayan dari Allah dengan jatuh ke dalam dosa.
Tiba saatnya ketika sang Bangsawan kembali ke rumahnya, dan memanggil ke sepuluh hambanya untuk mengetahui  berapa hasil dagang mereka masing-masing sebagai bentuk pertanggungjawaban dari kepercayaan yang telah diberikan olehnya.  Gambaran inipun akan diberlakukan allah kepada manusia yang telah diberikan kepercayaan. Setiap manusia harus siap untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatannya di hadapan Allah.Tentu saja berarti manusia tidak bisa seenaknya menyia-nyiakan kepercayaan dari Tuhan. Seperti kata penulis surat Petrus, “…yaitu Dia yang tanpa memandang muka menghakimi semua orang menurut perbuatannya, maka hendaklah kamu hidup dalam ketakutan selama kamu menumpang di dunia ini “ ( I Petrus 1:17).


Masing-masing hamba memberikan perrtanggungjawaban. Ada yang menghasilkan laba berlipatkali ganda, namun ada pula yang tidak menghasilkan apa-apa  karena hanya menyimpan uang mina tersebut.. Kepada hamba yang berhasil melipatgandakan uang mina itu, dia memberikan kepercayaan  mengurus kota.
            Hal ini menunjukkan betapa sang bangsawan  memberikan kepercayan yang lebih besar lagi kepada hambanya yang telah berhasil. Sedangkan hamba yang tidak berhasil, kepercayaan itu diambil darinya. Tentu saja hal ini juga akan berlaku kepada setiap manusia yang berhasil menjalankan kepercayaan yang Allah berikan.. Tanggungjawab yang lebih besar lagi akan diterima oleh manusia. Hal ini bukan untuk menyengsarakan, tetapi menunjukkan betapa Allah semakin percaya kepada orang-orang yang berhasil menjalankan kepercayaan sebelumnya. Seperti yang dikatakan oleh Yesus berulangkali : “ …. Engkau telah setia kepada perkara yang kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggungjawab dalam perkara ang besar.”