Kamis, 28 Oktober 2010

KELUARGA YANG MENYEMBAH TUHAN


Ibadah merupakan pusat hidup orang beriman. Ibadah bukan hanya menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi kehidupan moral kita, tapi juga merupakan ungkapan sikap dan perasaan kita terhadap yang Ilahi. Corak dan isi ibadah Kristen bervariasi. Keberagaman ini mencerminkan beragamnya sikap dan perasaan orang Kristen terhadap Tuhan. Corak dan isi ibadah  yang berbeda juga akan menghasilkan sikap moral yang berbeda. Itu sebabnya perubahan bentuk ibadah selalu controversial. Ibrani 12:28 tidak mengungkapkan seluruh jiwa ibadah Kristen, tetapi paling tidak ia menekankan salah satu sifat ibadah Kristen yang prinsipial : penyembahan kepada Tuhan.
            Setiap keluarga kristiani tentu merindukan dan mendamba agar keluarganya menjadi keluarga yang rohani, keluarga  yang beribadah dan menyembah Tuhan. Kerinduan yang baik, yang memang patut ada dalam setiap keluarga kristiani Pelbagai usaha dilakukan demi mencapai apa yang dirindukannya itu. Tetapi masalah yang ada bukan terletak di dalam apa yang diusahakan atau kerinduan yang ada dalam masing-masing keluarga, melainkan dalam konsep ibadah yang ada. Apa yang dimaksud dengan keluarga yang beribadah, keluarga yang menyembah Tuhan ? Konsep seseorang tentang hal itu akan sangat menentukan.
            Pada umumnya ketika kita mendengar kata “beribadah”,  “menyembah”, yang muncul dalam benak kita adalah : adanya “family altar” atau mezbah keluarga yang teratur setiap hari ( itupun dalam pemahaman ritual : berdoa, menyanyi, membaca Alkitab, renungan); dengan setia berbakti ke gereja, dibaptis dan sidi, terlibat dalam aktivitas gereja dan seterusnya. Kita merasa senang ketika kita menyaksikan bagaimana anggota keluarga kita terlibat dalam kehidupan gereja. Namun, apakah yang namanya  “beribadah,menyembah Tuhan” hanya berkisar pada hal-hal seperti itu saja ?
            Kita seringkali lupa manusia adalah manusia yang utuh : tubuh, jiwa, roh dan social. Ibadah yang sejati adalah ibadah yang menyentuh seluruh kedirian manusia. Keselarasan tubuh, jiwa dan roh kita dalam ibadah akan sangat menentukan tindak tanduk kita. Kita tidak dapat menyembah Tuhan hanya dengan roh kita, sementara jiwa kita (akal  budi) kita memikirkan hal yang lain, ini namanya tidak sinkron, hidup yang terpecah-pecah bukan dalam keutuhan dan keserasian. Misalnya, ada keluarga  yang dengan setia memelihara “mezbah keluarga”, pukul  04.30 anak-anak dibangunkan, karena “mezbah keluarga” adalah kewajiban. Tuhan nomor satu, demikian pemikiran sang orangtua. Bahwa si anak mengikuti sambil terkantuk-kantuk sehingga tidak dapat mengikuti secara penuh dan sadar, bukan masalah, yang penting “mezbah keluarga” dijalankan.  Akan tetapi yang ironi adalah bahwa hidup keluarga penuh dengan ketegangan, baik antara suami dan istri, antara ayah dan anak, antara kakak dan adik. Tidak ada kedekatan dan keterikatan keluarga. Bila demikian, dimana letak nilai “mezbah keluarga” ?
            Perhatikan I Yohanes 4:20  “Jikalau seorang berkata : aku mengasihi Allah, dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya”. Beribadah dan menyembah Tuhan itu lebih dari hanya terlibat dalam perkara-perkara yang bersifat rohani belaka, hal-hal lahiriah yang nampak. Ibadah dan penyembahan sejati mengubah dan membaharui seluruh diri manusia yang menyembah itu dan lahir “ciptaan yang baru” II Korintus 5:17).
            Dalam kitab Mika 6 : 8 ditunjukkan kepada kita apa yang Tuhan minta. “ Hai manusia, telah diberitahukan kepadamu apa yang baik. Dan apakah yang dituntut Tuhan daripadamu : selain berlaku adil, mencintai kesetiaan dan hidup dengan rendah hati di hadapan Allahmu?” Relasi dengan Tuhan tidak cukup dengan hanya melaksanakan ritual keagaam belaka. Siapapun yang hendak berjumpa dengan Tuhan harus datang dalam keadilan, kesetiaan dan rendah hati. Tuhan menginginkan si pemberi, bukan pemberiannya. Dan ketiga tuntutan Tuhan itu menunjukkan bahwa seluruh diri manusia yang diminta : tolok ukur prilaku yang bersangkutan, relasi personalnya dan kehidupan religiusnya. Yang dituntut Tuhan adalah melakukan yang benar, adil diantara sesama. Kita harus memberi apa yang sepantasnya diterima oleh sesama kita.
            Kesetiaan (khesed) menunjuk kepada prilaku yang baik, lemah lembut. Melakukan bukan hanya apa yang dituntut oleh hukum, keadilan, tetapi juga apa yang dituntut oleh kasih dan kebaikan. Kesetiaan berarti memenuhi tanggungjawab yang ada dalam setiap relasi, meskipun hokum tidak mengaturnya. Suami mempunyai tanggungjawab atas istri bukan karena hal itu diatur dalam hokum perkawinan, melainkan ia terkait dalam makna perkawinan itu sendiri. Hal yang sama berlaku juga dalam hubungan orangtua dan anak, dengan tetangga, antara penjual dan pembeli dan diatas segala-galanya dalam hubungan manusia dengan Tuhan
            Rendah hati (hatsneea), apabila seseorang ingin menghadap Tuhan, ia harus melakukannya dalam kerendahan hati dan melanjutkan relasinya dengan Tuhan tetap dalam kerendahan hati. Jalan menuju Tuhan tidak terbuka oleh persembahan binatang korban. Hanya karena Tuhan sendiri yang telah membukakan pintu itu, manusia dapat menghadap Tuhan, karena kebaikan dan kasih arunia Tuhan, manusia dapat bersekutu dengan Tuhan. Dan karena itu mutlak dibutuhkan kerendahan hati dalam relasi dengan Tuhan, seluruh diri kita : akal budi, perasaan dan kehendak harus ditaklukkan di bawah ketaatan kepada Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar