Kamis, 28 Oktober 2010

MORALITAS PENGAMPUNAN TANPA BATAS


Saling meminta maaf adalah kebiasaan yang indah.  Apalagi kalau dilakukan dalam sebuah keluarga. Tapi kebiasaan yang indah ini lebih sering menjadi angan-angan katimbang dilaksanakan. Karena, seperti kita semua ketahui, meminta dan memberi maaf, sungguh-sungguh tidak mudah untuk dilakukan..
Ada berbagai kendala yang menghalangi kita untuk meminta maaf, meskipun kita benar-benar merasa bahwa kita telah melakukan kesalahan terhadap orang lain.  Kendala terbesar yang menghalangi kita pada waktu kita ingin meminta maaf , biasanya adalah “gengsi” kita. Meminta maaf sering dipandang “merendahkan diri”. Dan kita tidak ingin diri kita dipandang rendah orang lain. Padahal,  besar kemungkinannya, kita enggan meminta maaf karena kita  “takut dipermalukan”, atau karena kita kurang percaya diri.
Seperti meminta maaf, memberi maaf kepada seseorang juga bukan persoalan gampang. Alasan untuk tidak melakukannya adalah karena kita telah sakit hati. Makin dalam luka hati, makin sulitlah memaafkan. Yang ada adalah keinginan membalas dendam. Apalagi kalau sebelumnya kita sudah pernah memaafkan orang yang pernah bersalah kepada kita itu. Yang muncul dalam hati kita bukan hanya sakit, tapi juga perasaan dihianati, atau merasa kurang dihargai. Akibatnya “dendam” kita makin mendalam. Adam Clarke (1980: 806) beranggapan bahwa manusia adalah “pembalas dendam” (Vindictive being), dan karena itu sangat sukar memberi maaf. Kalau sudah terluka.
Bacaan perikop Alkitab yang terdapat di dalam Matius 18 : 21-35 mengajarkan kepada kita untuk memaafkan orang yang bersalah kepada kita khususnya keluarga atau saudara-saudara kita sendiri. Bukan hanya sekali dua. Tetapi “tujuh puluh kali tujuh kali”. Perikop yang memberi pelajaran moral-spiritual dan “moral-finaansial” yang amat berharga bagi kita ini, dimulai oleh pertanyaan spontan Petrus kepada Yesus mengenai batas frekwensi kita  mengampuni seorang saudara yang berbuat dosa. Petrus menyangka bahwa memaafkan saudara itu ada batasnya, dan dalam pikirannya, tujuh kali sudah luar biasa. Namun jawaban Yesus mengejutkannya. Memaafkan saudara yang bersalah kepada kita, tidak cukup tujuh kali saja. Tetapi harus tujuh puluh kali tujuh kali. Dan itu berarti tanpa batas. Alangkah bedanya sikap ini dengan keinginan Lamekh untuk membalaskan denda-kemarahan kepada musuhnya sebanyak 77 kali (Kej 4: 24).
Kalau pengampunan itu berssifat legalistic, tiga-empat kali mengampuni orang bersalah itu sah. Menurut Barclay (1979:193-194), Rabi Jose ben  Hanina mengajarkan bahwa mereka yang meminta maaf dari tetangganya tidak boleh melakukannya lebih dari tiga kali. Dilihat dari sisi sebaliknya, itu berarti bahwa seseorang itu hanya diwajibkan mengampuni orang yang bersalah kepadanya sebanyak tiga kali saja. Rabi mengatakan bahwa jika seseorang berbuat salah sekali, akan diampuni. Demikian juga kesalahan yang kedua dan yang ketiga. Tetapi kesalahan keempat, tidak akan dimaafkan lagi.
Limit frekwensi mengampuni sebanyak tiga empat kali tersirat juga dalam kitab Amos. Amos 1 ( ayat 3,6,11,13), 2 (ayat 1,4,6), mengatakan bahwa penghukuman atas berbagai bangsa itu terjadi karena tiga atau empat pelanggaran. Disimpulkan bahwa tiga pelanggaran dimaafkan, tetapi pelanggaran keempat dihukum. Maka tidak salah juga kalau Petrus memperkirakan bahwa mengampuni saudara yang bersalah kepadanya sebanyak tujuh kali itu sudah luar biasa.
Pendapat Yesus mengenai pengampunan  tidak seperti itu. Mengampuni saudara yang bersalah adalah tanpa batas. Tujuh puluh kali tujuh adalah jumlah yang tak mungkin terlampaui oleh siapapun dalam hal memberikan pengampunan. Tentu ada alasannya mengapa Tuhan memberikan jawaban seperti itu, dan untuk menerangkannya, Tuhan Yesus menggunakan sebuah perumpamaan yang terkenal mengenai seorang raja yang mengadakan perhitungan (hutang-piutang) dengan hamba-hambanya. Ada salah seorang hamba, yang berhutang kepadanya sepuluh ribu talenta,Jumlah ini luar biasa besar. Menurut Barclay, jumlah sebesar ini melebihi anggaran belanja sebuah provinsi Romawi (saat itu ), yang kira-kira sekitar 300-600 talenta saja. Jadi hutang sebesar itu, hampir pasti tidak akan terbayar oleh hamba yang celaka tadi.  Tidak cukup juga seandainya segala milik,, termasuk anak dan istri hamba itu dijual (Band. Kel 22:3, Imamat 25:39,47). Permohonan hamba yang dilakukan dengan sujud menyembah dan menghiba-hiba, sang raja membebaskannya dari segala perhitungan hutang piutangnya.
Perumpaaan ini kemudian menceritakan kelakuan hamba bermega-hutang yang telah dibebaskan sang raja tadi ketika bertemu temannya yang berhutang kepadanya hanya seratus dinar.Hutang temannya itu amat sangat tak seberapa, namun dengan kejam sang hamba tadi menjebloskan temannya ke penjara.Kemudian narasi perumpamaan ini diakhiri dengan moral cerita. Kalau seseorang tidak mengampuni saudaranya dengan segenap hati, Bapa di Sorga juga akan melakukan hal yang sama kepadanya. Dengan jelas perumapaman ini sekaligus juga menggambarkan pengampunan Bapa kepada kita orang berdosa, yang hampir tanpa batas. Kalau Bapa demikian mengasihi kita, sudah selayaknya kita juga mengasihi saudara kita, dan memaafkan kesalahan-kesalahannya.
Menerapkan pengajaran Tuhan Yesus mengenai kasih dan pengampunan dalam kehidupan sehari-hari sebagai keluarga, anggota gereja dan masyarakat harus dilatih dan diusahakan. Kemampuan, dan sebelumnya : kemauan, untuk saling memaafkan tidak datang sendiri. Kemauan dan kemampuan memberikan pengampunan memerlukan latihan dan perjuangan.Moralitas pengampunan tanpa batas itu adalah moralitas kerajan sorga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar